Bertumbuh.

Empat tahun sudah waktu berlalu. Kali terakhir saya menulis disini adalah tentang kesendirian.

Satu kata yang dapat menggambarkan perjalanan hidup saya sedari terakhir saya menulis disini adalah judul dari postingan terbaru saya ini.

Saya sangat bersyukur atas perjalanan yang tidak pernah saya bayangkan. Atas perubahan yang terlampau signifikan. Atas kesempatan yang terhampar luas. Atas pemberian yang banyaknya tidak pernah terucap. Allah Maha Baik. Saya semakin yakin itu.

Kini saya sudah bertumbuh, seperti tanaman yang dahulunya adalah tunas, saya kini sudah memiliki batang, daun, bahkan berbuah. Bentuk tubuh saya tercipta sedemikian rupa berkat pahatan pengalaman; kesedihan dan kegembiraan. Saya merasa hari ini adalah saya yang begiiitu berbeda. Tidak sama seperti kali terakhir saya menulis. Dan kembali, saya bersyukur atas ini. Karena Allah izinkan untuk menjadi manusia yang tidak sama seperti hari kemarin. Persis seperti doa yang selalu saya panjatkan: “Ya Allah, jadikanlah hari ini lebih baik daripada hari kemarin, dan hari esok lebih baik daripada hari ini.”.

Hari ini, adalah doa yang pernah saya mohonkan kepada Allah dahulu kala: memiliki penerus kehidupan. Seorang anak. Yang Allah titipkan tidak hanya satu manusia, bahkan dua.

Apa rasanya memiliki anak?

Jika engkau menanyakan pertanyaan ini kepada saya saat ini juga, detik ini juga, tepat dijam 21.00 malam, dimana saya baru sampai rumah sehabis bepergian, jawabannya adalah: lelah.

Ternyata, tidak mudah untuk menemani tumbuh kembang dua orang manusia dalam waktu yang bersamaan. Namun bukan berarti tidak bisa. Saya ingat betul, pada satu waktu saya mengikut kajian Abu Haidar di Masjid Cipaganti, saat itu ada yang bertanya kepada beliau: “Ustadz, apakah boleh saya menolak untuk punya anak lagi? Karena saya sudah merasa tidak mampu.”. Lalu jawaban Ustadz adalah, “Yang bilang tidak mampu siapa? Pasti anda, kan? Allah berikan kita anak pasti Allah tahu kita mampu. Dan pasti akan Allah mampukan.”. Saat itu, langsung tertanam di pikiran saya bahwa: iya ya.. manusia sering sekali mengeluh duluan, padahal mencoba saja belum.

Terkadang jika saya membayangkan beberapa tahun ke depan, atau membayangkan anak saya sudah dewasa, saya kerap bertanya kepada diri sendiri: apakah saya akan mampu mengurus & mendidik anak saya? Jika pertanyaan ini sudah muncul, saya akan kembali mengigat jawaban Abu Haidar di kajian tersebut.

Hari ini, saya memang begitu lelah, menghadapi rasa penasaran dari kedua anak saya, tapi.. ada satu pesan dari Ustadz Nuzul Dzikri yang saya dapatkan hari ini: setiap anak memiliki hak, dan kita wajib memenuhi hak mereka. MasyaAllah.. anak punya hak untuk dihibur, disayang, dimanja, dididik, diajak main, dibelikan baju, dan lain lain. Dan hak ini, harus dipenuhi orang tua, jika tidak? Mereka akan menuntut ini di akhirat kelak.

Mendengar nasihat dari Ustadz Nuzul Dzikri, saya menjadi lebih kuat, untuk memenuhi hak dari anak saya. Karena sebagai seorang muslim, wajib bagi kita untuk amanah dalam menjaga apa yang sudah Allah berikan ke hidup kita. InsyaAllah, sifat amanah akan menjadi syafaat untuk kita di akhirat kelak, dan pemberat amal kebaikan. Allahu’allam.

***

Malam ini, saya memaklumi diri sendiri, bahwa diri ini adalah manusia. Yang ada lemahnya. Satu waktu, saya harus bisa menerima ini. Yang malam ini saya lakukan proses penerimaan ini dengan menulis. Setelahnya, saya paksakan diri ini untuk cari penguat, agar lemah ini kalah. Dan sebagai seorang muslim, kekuatan itu saya dapatkan melalui keyakinan bahwa: semua ini akan ada balasannya di akhirat kelak. InsyaAllah.

Barakallahu fiikum.

Sendiri.

Bagi sebagian kamu mungkin sudah tidak asing dengan kata ‘sendiri’. Bahkan bisa jadi sebagian kamu malah sangat ketagihan dengan kata ‘sendiri’. Dan mungkin kebanyakan kamu malah sangat suka sekali jika kata ‘sendiri’ ini digabungkan dengan kalimat kegiatan favorit kamu. Misal: pergi menonton ke bioskop sendiri, pergi ke kampus sendiri, berdiam diri di kamar sendirian, membaca buku sendirian, makan di tempat makan kesukaan kamu sendirian, pergi berbelanja ke pasar sendirian, ke salon sendirian, dan seterusnya.

Tapi.. mungkin keseluruhan dari kamu tidak suka jika kata ‘sendiri’ ini digabungkan menjadi kalimat berikut: hidup di dunia sendirian.

Betul. BENAR-BENAR SENDIRIAN.

Jika kamu dikondisikan hidup dalam posisi seperti itu, masihkan kamu suka dengan kata ‘sendiri’?

*

Ini adalah cerita berdasarkan kisah nyata yang aku dapatkan dari seorang rekan. Secara langsung, kisah ini menjadi pelajaran berharga untuk hidupku. Cerita dibawah ini saya kembangkan sedikit sesuai dengan apa yang saya pahami.

Hidup seorang wanita di sebuah panti asuhan di Bandung. Ia lahir dan tumbuh disana. Waktu berlalu, ia beranjak menjadi anak kecil yang menggemaskan. Hingga datang satu waktu, waktu dimana banyak sekali anak yatim piatu seperti dia harapkan; datang pasangan yang ingin mengadopsinya. Ia akan punya orang tua! Bahagianya ia kala itu. Ia lalu diajak tinggal di satu rumah. Ia tidak sendiri lagi. Punyalah ia orang tua seperti anak lain pada umumnya. Ia bahagia. Sungguh bahagia. Tidak perlu ada kekhawatiran berlebih lagi dihidupnya, karena kini ia sudah memiliki pelindung.

Hingga datang kembali satu waktu..

Ia tiba-tiba diusir dari rumahnya. Alasan tak masuk akal dilontarkan; keberadaan dia akan menyulitkan. Ia diminta pergi begitu saja. Ia bertanya: “Kemana saya harus pergi? Sedangkan di dunia ini saya tidak memiliki siapa-siapa?”. Sang orang tua gadungan tidak peduli. Pokoknya dia harus pergi. Sejauh mungkin. Tak peduli hendak kemana, yang penting dia hilang dari pandangan mata. Ia bingung. Aku harus kemana? Begitu yang terus dipikirkannya.

Berbekal tas yang berisikan bekal hidup seadanya, ia luntang-lantung hidup sendirian. Pikiran untuk mengakhiri hidup datang tidak sekali. Tapi ia bertahan. Barangkali Tuhan memiliki maksud yang ia tidak paham. Bertahun-tahun hidup ia jalani. Ah.. ternyata saya bisa bertahan! Begitu pikirnya. Tapi ia masih merasakan kekosongan dalam dirinya. Ia tahu, ia mencari ‘sesuatu’. ‘Sesuatu’ yang tidak ia miliki selama ini; iman beragama. 

Datanglah ia ke masjid-masjid. Mencari ustadz yang bisa mengislamkannya. Tidak lama, Islam telah digenggamnya. Hidupnya lebih tenang. Iman beragama membuatnya lurus. Tenang. Dan memiliki tujuan.

Tidak lama setelah itu, ia hinggap disatu momen kesuksesan dalam hidupnya. Ia menjadi bos dengan memiliki beberapa pegawai. Dinikmatinya hidup dan dilupakan masa lalu yang kelu. Ia berhasil buktikan kepada diri sendiri: aku sukses!

Ia pernah berusaha untuk mencari orang tuanya. Namun sayang, arsip yang terkumpul saat ia lahir telah hilang semua. Namun ada satu petunjuk; dikatakan ia adalah anak dari salah satu permaisuri di keraton Solo. Ia berangkat kesana dan mencari nama yang disiratkan. Nihil. Ia berlum berjodoh menemukannya.

Kesuksesan yang ia rasakan tidak berlangsung lama, ia kembali terpuruk. Hilanglah dalam sekejap kesuksesan itu. Hilanglah kembali orang-orang dihidupnya. Ia kembali bertemu dengan kata ‘sendiri’.

Musibah seakan tidak mau pergi dari dirinya. Suatu saat, ia tiba-tiba tertabrak mobil. Kakinya terlindas hingga terasakan patah tulang didalam dagingnya. Ia merasakan momen terdekat dengan kematian. Ah, beruntunglah aku! Pikirnya kala itu. Karena ia berpikir bahwa ia akan mati. Dan kesengsaraan hidup sendiri di bumi akan berakhir. Seribu sayang, Tuhan berkata lain. Ia tetap hidup. Malah makin terpuruk merasakan kesendirian. Dirawat di rumah sakit sendirian. Untuk berjalan saja susah, dan ia tidak punya seorang pun yang bisa ia mintai untuk menolongnya. Bahkan mengambil makanan saat itu saja, ia meminta tolong kepada orang yang menyapu jalan di depan kamar ia dirawat. Yang menengok? Jangan berharap terlalu muluk. Karena jawabannya pasti tidak ada. Tempat berkeluh kesah hanyalah Tuhan semata. Tidak bisa ia berharap pada manusia.

Setelah sembuh, ia bertekad untuk membuat kehidupannya semakin membaik. Ia memutuskan untuk menikmati hidup dengan belajar agama. Berhijab ia. Merubah perilakunya ia. Berbuat baik kepada sebanyak orang berusaha ia. Bila bertemu orang baru, ia selalu berusaha ingin selalu dekat dengannya. Dianggaplah saudara orang barunya itu. Bahkan jika bertemu orang lainnya, dan mengenalkan temannya, tak segan ia berkata: ini saudara saya. Jika ditanya: saudara dari mana? Ia hanya tersenyum sambil berkata: pokoknya saudara deh! gak tau darimana.

Ia mungkin sekarang sedikit bahagia. Hidupnya tidak sukses dan kaya. Sederhana saja. Tapi ia tidak merasa sendiri saja.

Ada sedikit kesedihan sekarang kembali dialaminya. Ia sekarang kembali diberikan cobaan oleh Allah. Diberi-Nya penyakit yang bukan biasa. Tersiksa ia setiap harinya. Namun tidak pernah ia tunjukan sedikitpun di raut mukanya. Biarlah sisa hidup ia jalani apa adanya. Begitu kurang lebih apa yang ingin dikatakannya.

Tapi aku tenang, sekarang ada rekanku yang menceritakan kisah ini, yang berusaha untuk setia menemaninya. Menjalani proses rasa sakit yang dideritanya. Dengan harapan bisa sedikit mengurangi beban dalam hidupnya. Terutama: menghilangkan kata ‘sendiri’ dari hidupnya.

**

Dari kisah diatas aku belajar: bersyukur aku tidak hidup BENAR-BENAR SENDIRI di bumi. Aku masih memiliki orang tua maupun saudara. Bayangkan jika kamu menjadi dia. Pemeran utama kisah diatas. Bisakah kamu bertahan hidup? Aku yakin belum tentu.

Jika kamu pernah merasa: duh, aku kesepian.

HEY! Coba lihat di sekitar kamu! Kamu masih memiliki orang tau yang bisa kamu rengeki setiap hari. Kamu masih memiliki pasangan halal yang bisa kamu curhati setiap detik. Kamu masih memiliki sahabat yang bisa kamu ajak tertawa bersama saat kesedihanmu butuh diobati. Kamu masih memiliki saudara di sekitar kamu yang bisa kamu mintai tolong saat kamu mengalami kesulitan yang teramat sangat.

So, syukuri hidup kamu jika kamu tidak hidup sendiri. Syukuri jika masih ada adik di rumah yang selalu ribut denganmu setiap hari. Syukuri jika masih memiliki pasangan halal yang mungkin sering berselisih paham denganmu. Syukuri jika masih memiliki orang tua yang bisa jadi memarahi untuk kebaikanmu setiap hari. Syukuri jika masih memiliki sepupu yang walaupun bertemu hanya satu tahun sekali.

Syukuri.

Jangan sampai kamu merasa SENDIRI, padahal kamu masih memiliki orang tua, pasangan halal, saudara kandung, sahabat-kerabat yang banyak di hidup kamu.

.

Feature image milik @nandanghzk

Ta’aruf.

Seneng banget deh kalau ada yang minta tolong ke saya untuk dicarikan jodoh. Apalagi pas dia bilang kalau yang minta dicarikan jodoh itu terinspirasi dari kisah ta’aruf saya. Ini artinya bertambahlah orang yang punya minat untuk langsung serius menikah, tanpa harus pacaran dulu. Alhamdulillahirabilalamin.

Nah, karena suka ada yang nanya mengenai kisah taaruf saya, kenapa enggak saya buat dalam bentuk tulisan? Siapa tau, sehabis membaca tulisan ini, semakin banyak yang mau taaruf, dan jadinya makin banyak yang menikah secara mudah. Ehe.

So, here it is! Tulisan ini akan berisikan kisah dan proses taaruf saya, yang akan saya tuliskan dengan bahasa saya sendiri. Semudah mungkin untuk dapat dicerna. Saya tulis seringkas mungkin. Jadi mohon maaf apabila ada ketidaklengkapan dalam segi informasi yang saya tuliskan. Juga saya mohon maaf apabila ada informasi yang sedikit salah. Saya mohon bantu benarkan dan luruskan.

Yok kita mulai!

Kok mau taaruf?

Jadi begini..

Bulan Desember 2016 saya mulai menemukan titik balik dihidup saya. Singkat cerita, saya ingin berubah dan saya ingin menikah. Saya mulai ikut kajian di berbagai tempat, dari berbagai guru. Setelah mengikuti beberapa kajian, saya makin cocok dengan satu kajian yang selalu diadakan oleh Radio Rodja. Saya merasa setelah mengikuti kajian disana, saya banyak mendapatkan ilmu dan hebatnya dapat merubah banyak perilaku saya. Tidak hanya belajar dari kajian yang saya datangi secara langsung, tapi juga saya banyak belajar dari kajian yang saya tonton di YouTube dan Instagram. Alhamdulillahirabilalamin, juga banyak ilmu yang saya dapatkan dari Ustad-ustad seperti Khalid Basalamah, Syafiq Reza Basalamah, Nuzul Dzikri, Abu Yahya, dan Subhan Bawazier. Kenapa saya ikut kajian dulu? Karena saya pikir kalau saya mau menikah dan ingin mendapatkan wanita shalehah, ya saya harus shaleh dulu. Intinya apabila ingin mendapatkan seseorang yang satu frekuensi dengan kita, ya kita juga harus memantaskan diri dulu agar dapat berada di frekuensi yang sama. Ingat, Islam tidak pernah melihat masa lalu seseorang. Jadi kalau misalnya kamu mantan pencuri, ya sebodo amat, kalau kamu sudah taubat nasuha, dan ingin berubah semaksimal mungkin menjadi lebih baik, ya kamu dilihat sebagai kamu yang ada dimasa sekarang dan kedepannya. Bukan kamu dimasa lalu. Jadi jangan pernah putus asa! Kamu pasti bisa mendapatkan calon istri/suami yang shalehah/shalehah.

Belajar di kajian itu penting. Karena kita perlu paham dulu tentang konsep taaruf. Wong saya juga dulu mikir begini saat tahu teman saya taaruf: haaaaah? Kok mau dia taaruf? Haaaah kenal lewat CV? Apaan ini mau ngelamar kerja? Kenal doang cowonya bentar dari CV, kok mau sih nikah? Haaah? Gimana sih ini? Gimana kenalnya? Gimana kalau pasangannya orang jahat? Gimana kalau penipu? Gimana kalaaaau????? Dan seterusnya. BANYAK BANGET pikiran buruk dibenak saya, karena saya ENGGAK PAHAM konsep taaruf. Jadi mulailah saya cari tahu.

Proses Memahami Konsep Taaruf

Menurut saya, taaruf ini adalah sebenar-benarnya konsep yang sangat menjaga kesucian laki-laki dan perempuan. Konsep yang menjaga kesucian dari seorang manusia. Konsep yang menjaga kesucian keseluruhan keluarga. Semua ter-ja-ga! Aman.

Taaruf mempertemukan dua manusia yang sama-sama 100% ingin menikah, menjaga kehormatan, dan berubah menjadi manusia yang lebih baik. Biasanya, orang yang sudah ingin taaruf, berarti orang tersebut sudah sungguh-sungguh ingin menjadi lebih baik secara umum. Ingin merubah dirinya. Dan yang paling penting: bersungguh-sungguh ingin menikah. Jadi sudah tidak kenal main-main. Sudah mau banget belajar berumah tangga. Sudah ngebet banget patuh sama suami. Sudah siap banget mendidik istri. Insyaallah.

Saat sudah mendapat hidayah dari Allah ingin belajar agama, lalu merasa umur sudah matang untuk menikah, dan kehidupan dirasa akan lebih meningkat kualitasnya dengan menikah, ini saat yang tepat untuk lebih mudah memahami proses taaruf. Lanjutlah belajar. Iya dong! Semua wajib dipelajari. Jangan asal mau taaruf tapi enggak ngerti bagaimana konsep taaruf ini bekerja.

Ini dia langkah-langkah yang perlu dilakukan agar lebih paham tentang konsep taaruf (ini juga yang saya lakukan):

  1. Ikut kajian! Ini WAJIB. Jangan males. Kita harus menumbuhkan iman dan menjemput hidayah. Serunya juga, di kajian kita bisa denger banyak diskusi, terus juga kita bisa tanya sama ustad tentang segala pertanyaan dan kepenasaran yang ada di benak kita. Ingat! Segala pertanyaan tentang agama baiknya ditanyakan kepada ahlinya. Kalau nanya ke temen atau orang tua, khawatirnya jawaban terbatas dan tidak jarang menyesatkan. Bisa jadi juga buat kita malah bikin males untuk belajar agama lagi. So, dateng ke kajian! Belajar belajar belajar! Semakin banyak belajar agama, kita akan semakin beriman. Karena kita semakin beriman, kita akan mudah menerima konsep ajaran Islam, yang salah satunya adalah taaruf.
  2. Tonton di YouTube pelajaran tentang taaruf. Wah ini ngaruh banget. Semakin belajar, semakin paham, semakin sadar kalau ternyata taaruf itu gampang! Nyari jodoh itu enggak susah! Yang nyusahin diri kita sendiri. Terlalu muluk. Pengen yang cantik, yang kaya, yang pinter. Padahal kitanya mah biasa aja. Heuheu. Mudahkan kriteria calon istri/suami kita. Yang penting AGAMAnya KEREN. Cukup. Selamat dah itu pernikahan. Karena kalau istri/suami yang paham agama, dia paham hak dan kewajiban istri/suami. Sudah tahu panduan. Jadi banyak kemudahan nantinya dalam menjalani rumah tangga. Channel YouTube yang saya sarankan untuk ditonton: Khalid Basalamah – Mahkota Pengantin. Tonton deh sampe habis!
  3. Baca buku! Yang saya baca buku Panduan Lengkap Nikah dari A sampai Z, karya Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq. Buku ini isinya superb lengkap! Kamu bisa baca panduan mulai dari cara memilih jodoh, adab menikah (ternyata nikah itu mudah dan murah loh!), sampai panduan saat berumah tangga seperti memahami hak dan kewajiban suami dan istri. Kalau kita paham ini dulu, saat taaruf, kita akan mudah untuk melihat segala sesuatu secara mudah. Enggak ribet. Pasti pandangan kita akan jadi: udah deh, dia agamanya bagus, keluarganya agamanya bagus, yok dah nikah! Cus! Gak pake lama!
  4. Banyak ngobrol sama yang udah pernah taaruf. Ini ngebantu banget saat kita lagi down karena gak dapet mulu jodoh. Karena sesungguhnya semua ya takdir Allah. Saat Allah berkehendak, ya Allah akan segerakan. Kalau belum, Allah Maha Tahu mengapa. Ngobrol sama yang sudah pernah taaruf juga membuat kita lebih paham proses yang perlu dilewati.

Proses Taaruf Versi Saya

Setelah saya semakin siap dan semakin paham untuk taaruf, akhirnya saya memberanikan diri untuk membuka hati saya, dan memasrahkan diri saya kepada Allah perihal jodoh saya. Dulu saya ingin punya pasangan hidup yang pintar, lulusan S2, bisa begini, bisa begitu. Pokoknya duniawi lah! Setelah paham agama dan konsep taaruf ini, kriteria saya yang utama cuma satu: dia wanita shalehah. Cukup. Sisanya mah bisa belajar. Ya gak? Iya lah. Manusia kan makhluk pintar. Semua bisa kok. Kalau gak bisa masak, ya bisa belajar. Kalau gak pinter dalam satu bidang, ya tinggal belajar, nanti juga bisa jadi pinter. Pokoknya manusia itu pintar! Yang penting akhlaknya dulu, karena ini yang akan membawa kita selamat dunia dan akhirat.

Sekarang, ini dia proses taaruf saya..

  1. Buat CV

Hahaha. Pasti yang awam kalau pas tanya ke saya kalau saya harus buat CV pas mau taaruf, mereka pasti ketawa. Ya sama kok, saya dulu juga ngetawain haha. CV disini itu beda, enggak sama kaya CV mau ngelamar kerja. CV ini berisikan tentang profil lengkap dari orang yang kita ajak kenal. Isi CVnya kurang lebih tentang hal-hal personal dari orang tersebut. Kita kadang untuk mengenal orang kan perlu tahu orang tersebut sifatnya seperti apa, kesukaannya apa, kebiasaannya gimana, kegiatannya ngapain.. biasanya kita cari tentang orang yang kita suka di media sosial kan? Misal dari Facebook kita tahu orang tersebut suka naik gunung, suka baca buku karangan si A, dan lain-lain. Nah sama. Dari CV kita bisa mencantumkan segala hal tentang kita, malah lebih detail. Dan bisa mendapatkan data tentang calon pasangan kita juga lebih detail. So, lebih enak kan? Iya doong..

  1. Menyebarkan CV

Setelah saya buat CV, lalu saya berikan CV saya ke panitia akhwat di kajian yang biasa saya datangi. Selain itu, saya juga minta bantuan teman untuk bantu menyebarkan CV saya. Ingat ya, ‘menyebarkan’ disini juga saya sebarkan secara bertanggung jawab. Bukan berarti saya sebarkan begitu saja. Saya tentunya meminta bantuan kepada orang yang AMANAH. Ini yang pelu diperhatikan juga. Cari orang yang kita percaya untuk bisa bantu ini. Agar aman aja. Oh ya, diCV kita kan ditulis tuh kriteria wanita seperti apa yang kita mau. Misal: saya ingin wanita shalehah, rajin kajian, suka naik gunung, tingginya tidak lebih dari tinggi saya, berkulit putih, humoris. Yep! Fisik juga boleh kita tuliskan. Tapi inget sama tujuan taaruf: bersungguh-sungguh menikah. Jadi jangan terlalu perfeksionis!!!! Mudahkan. Saya juga di CV nulis: saya ingin calon istri saya berkulit putih. Istri saya sekarang enggak begitu. Saya menemukan hal lain yang membuat saya yakin untuk menikahi istri saya yang sekarang. So, fisik jangan terlalu dipermasalahkan lah. Toh fisik itu kan hanya bertahan beberapa tahun. Sudah tua semua bisa berubah. Cari hal yang lebih kekal: what’s ‘inside’ our future wife/husband is what matter the most! Yep, akhlak!

  1. Memilih Calon Istri
  • Menyeleksi CV

Setelah kita sebarkan CV, insyaallah enggak lama akan ada feedback. Datanglah akhwat yang minat sama kita. Jika ada yang minat, biasanya perantara kita (yes, harus ada perantara, enggak boleh langsung mengkontak orang yang bersangkutan, khawatirnya terjadi hal-hal yang berbau maksiat. Perantara: teman kita atau panitia kajian) akan memberikan CV akhwat. Dari CV tersebut, kita akan tahu, karakteristik personal orang tersebut. Setelahnya kita bisa tahu, kita minat gak untuk melanjutkan proses taaruf dengan akhwat tersebut. Taaruf pertama, kedua, dan ketiga saya, semuanya cocok di CV. Saya merasa apa yang akhwat-akhwat tersebut tuliskan di CV, sangat cocok dengan apa yang saya cari. Apabila pada proses CV ini kita sudah merasa tidak cocok dengan akhwat yang minat sama kita, ini enggak apa-apa. Justru dengan memustukan lebih awal, itu lebih baik. Jangan ‘ngegantungin’ yah. Disini gak ada PHP! Iya ya iya. Enggak ya enggak.

  • Nazhor (ketemuan)

Sesuai saran Rasulullah sallallahu ‘alayhi wasallam, kita harus cari satu hal yang kita suka dari calon istri/suami kita. Untuk tahu ini kita perlu ketemuan (nazhor). Saat ketemuan ini pun kita enggak boleh dooong berdua-duaan. Harus ada perantara! Nah, saat ketemuan, (sesuai fatwa Syaikh Kholid Al Musyaiqih) kita boleh memandang wajah, leher, kepala, al qadam (kaki dari mulai mata kaki hingga ke bawah), dan al yadd (tangan dari pergelangan tangan hingga jari) calon istri kita. Kita cari hal yang kita suka dari dirinya. Walau itu misal hidungnya. Atau cara dia berbicara. Taaruf pertama saya gagal pada tahap ini. Saya merasa ada yang kurang cocok. Loh boleh ya gak jadi? Ya boleh lah! Kalau gak boleh namanya taaruf ini maksain kita buat menikahi orang yang kita enggak suka dong? Taaruf juga tetap mengharuskan kita ‘suka’ sama pasangan kita. Jadi bukan seperti beli kucing dalam karung. Wkwk.

Nah, taaruf kedua dan ketiga saya, pada tahap ini cocok. Lalu saya melanjutkan ke pertemuan dengan orang tua saya. Yep! Biasanya setelah ketemuan dengan akhwatnya, kita ketemuan dengan keluarga, untuk lebih kenal akhwat/ikhwan yang kita minati lewat keluarga. Atau, mengizinkan akhwatnya kenal saya lewat orang tua saya. Ini sangat berguna banget untuk tahu lebih dalam dan tahu sebenarnya sosok yang akan kita kenal.

Taaruf kedua, saya ajak akhwat yang saya minati untuk ketemu orang tua saya. Qodarullah, orang tua saya kurang cocok. Saya juga jadi kurang cocok, karena saya lihat ternyata interaksi dia kepada orang tua agak kurang enak. Karena setelah menikah saya ada niatan untuk tinggal dengan orang tua (karena saya anak satu-satunya, dan kewajiban laki-laki mengurus orang tua hingga akhir hayat mereka), saya harus banget cari istri yang bisa berkomunikasi baik dengan orang tua. So, yang kedua failed. Loh gak apa apa? Ya gak apa apa dong. Asal komunikasikan dengan baik. Insyaallah pasti ngerti.

Taaruf ketiga juga gagal setelah ketemu orang tua saya. Bukan karena orang tua saya gak cocok, tapi ada hal lain yang menghambat. Yaudah saya sudahi. Karena dalam hal taaruf ya gitu. Mau ya mau. Enggak ya enggak. Jelas. Bukan gantung.

  • Pertemuan dua keluarga

Nah, pada taaruf keempat,ketiga proses diatas semua terlewati. Langsung saya ajak orang tua saya ketemu orang tua dia. Ngapain? Ya langsung ngajak nikah lah! Ngapain lama-lama wkwkwk. Taaruf keempat ini prosesnya lumayan cepet: tuker CV, kenalan seminggu, tepat di seminggu kenalan, dia ketemu orang tua saya, besoknya saya ajak orang tua saya ke rumah orang tua dia. Ngajak nikah. Langsung deh tentuin tanggal nikah. Persiapan nikah? 3 minggu!!!! Hahaha gila yah. Tapi ya gitu. Islam mempermudah nikah. Dan nikah itu sudah seharusnya mudah dan murah. Gak harus dibuat ribet dan mahal.

  1. Menikah

Perlu diingat selalu: Islam itu mempermudah pernikahan. Nikah enggak usah dibuat ribet. Yang penting ada rasa suka sama suka dari kedua calon mempelai, izin dari wali, saksi-saksi (minimal dua saksi yang adil), mahar, dan ijab Qabul. Cukup. Halal deh. Hehe. Ini simplenya. Ohya, jangan lupa juga ‘mengiklankan’. Artinya, kita perlu juga memberitahukan kepada keluarga, tetangga, dan kerabat, kalau kita sudah menikah. Agar tidak ada fitnah.

Saya proses mempersiapkan pernikahan cuma 3 minggu doang. Saya nikah di mesjid. Sehabis menikah makan-makan di pinggir mesjid. Udah deh. Pulang. Halal.

Itu kenapa kita PERLU mementingkan agama calon istri/suami kita, juga keluarganya, karena kalau mereka sudah sangat paham agama, semuanya akan dipermudah. Yang penting SEGERA HALAL.

Penutup

Taaruf itu adalah proses yang menyenangkan dan menenangkan. Taaruf sangat menjaga kesucian manusia. Saya pikir, beginilah seharusnya hubungan manusia dibangun. Jelas. Mana hitam, mana putih. Mana hak, mana kewajiban. Pernikahan dalam Islam sudah ada panduannya. Dan saat kita mengikuti panduan tersebut, segala akan terasa lebih mudah. Itu yang saya rasakan. Saya dan istri belajar tentang berumah tangga sesuai syariat, sehingga kami jadi lebih paham hak dan kewajiban suami dan istri. Jadi saat kita diuji dengan masalah dalam rumah tangga, semua akan ‘terasa mudah’ dilewati.

Saya akui, setelah menikah pun banyak sekali tantangan. Iman saya naik dan turun. Tapi ya begitulah manusia. Dan proses belajar agama ini berlaku seumur hidup. So, no worries. Yang penting selalu ada niatan untuk selalu menjadi lebih baik. Dengan saya menjalani proses taaruf bukan berarti saya otomatis menjadi orang paling shaleh sedunia. Enggak lah! Saya manusia. Banyak kurangnya.

Ingat! Walau proses taaruf mudah, namun juga dalam prosesnya saya akui akan ada saat ups and down. Saya gagal taaruf sampai tiga kali. Saya sempat putus asa. Perantara saya juga sempat merasakan putus asa. Jadi.. proses GAGAL bisa jadi ADA. Namun jangan putus asa. Buktinya, kalau pada saat itu saya putus asa, saya tidak akan bertemu dengan istri saya yang sekarang. Istri yang ternyata Alhamdulillah mempermudah semuanya. Dan Alhamdulillah dia ternyata memang yang terbaik yang Allah siapkan. Coba kalau saya menyerah?

Dulu saya pernah menulis ini: keajaiban biasanya datang menghampiri saat kita sedang berputus asa dan hendak menyerah.

Wallahuallam.

Jadi, tetap semangat dan taaruf-lah! Hehe. Semoga bermanfaat!

 

Tragedi.

 Tidak ada penderitaan, kesengsaraan, sakit, kesedihan dan bahkan juga kekalutan yang menimpa seorang mukmin, melainkan dengan semua itu dihapuskan sebagian dosanya. – HR Muslim No. 470

*

Jika saja manusia dapat menghitung seberapa banyak tragedi yang pernah hinggap di hidup mereka, pasti saja manusia ahli dalam hal ini. Bahkan dalam hitungan detik, kita sudah dapat mengumpulkan berbagai cerita tragedi dalam hidup. Namun, apabila ditanya seberapa banyak nikmat yang pernah dirasakan, manusia pasti pintar berkelit untuk melupakannya. Ya. Sudah seharusnya manusia menjadi pemalu paling ulung.

Jika boleh, saya ingin meminta kamu untuk mengingat-ingat kembali berbagai tragedi yang pernah datang di hidup kamu dalam waktu 10 detik. Siap? Go!

Banyak? Sedikit?

Mau itu banyak atau sedikit, sadarkah kamu jika tragedi yang datang ke hidup kamu meninggalkan banyak sekali pelajaran dan kebaikan?

*

Tragedi Allah datangkan ke hidup manusia dalam bentuk yang sangat beragam. Mungkin dari banyak kita sudah sering mendengar: Allah datangkan cobaan (tragedi) sesuai dengan kadar kekuatan masing-masing manusia. Dalam memberi targedi saja Allah masih memikirkan kekuatan manusia. Allah takut kita tidak kuat. Tidak salah jika Allah itu Maha Pemurah.

Menanggapi tragedi yang ada di hidup kita, tidak jarang kita bersedih, berputus asa, marah kepada siapa saja, bahkan berusaha mencari berbagai cara untuk menzalimi tubuh kita. Apa gunanya? Tidak ada. Justru akan semakin merusak jalan cerita baik hidup kita.

Dalam waktu hidup yang singkat ini, saya pribadi merasakan banyak sekali tragedi yang pernah datang ke hidup saya. Tragedi ini beragam sekali memang bentuknya, dan pada masanya tragedi ini datang, saya merasa ini adalah cobaan paling terberat dihidup saya.

Waktu berlalu, saya sadar, banyak sekali pelajaran dan kebaikan yang saya dapatkan. Pasti tidak jarang kan kita mendengar: tenang, pasti ada hikmahnya.

Itu benar!

Hikmah datang setelah waktu berlalu beberapa saat. Setelah kita menghela napas, kita mulai bisa melihat secara jernih kebaikan dan pelajaran yang didapatkan.

Ini yang saya pelajari dari datangnya tragedi: Manusia adalah makhluk yang super bandel. Terkadang nasehat sesama manusia tidak akan mempan untuk merubah manusia menjadi lebih baik. Manusia yang super bandel ini, terkadang harus disentil. Atau dipukul, agar belajar dan sadar akan apa yang ia lakukan salah. Terkadang seperti itu bukan manusia saling mengingatkan satu sama lain? Saat teman kita salah, kita tepuk pundaknya sambil berkata: jangan gitu woy! Iya kan? Sekarang coba kamu pikirkan, bagaimana caranya Tuhan memberitahu kita, kalau yang kita lakukan salah?

Betul. Salah satunya adalah dengan mendatangkan tragedi sebagai bentuk “tepukan pundak” untuk mengingatkan apa yang kita lakukan salah.

Manusia terkadang harus dipaksa digiring menuju arah yang lebih baik dengan cara yang tidak enak. Setuju tidak? Harus setuju. Iya lah! Coba ingat-ingat, apakah sekolah itu enak? Apakah makan obat penambah nafsu makan enak? Apakah olahraga enak? Apakah bekerja enak? Apakah mencuci pakaian itu enak? Apakah berlatih berjam-jam itu enak? Pasti mayoritas dari kamu mejawab: tidak enak. Tapi.. dari semua hal diatas SUDAH PASTI membawa kita ke arah yang lebih baik, kan?

That’s the point!

Tragedi selalu dan pasti menggiring manusia kepada KEBAIKAN. TITIK.

Saya punya banyak bukti nyata, ada teman dekat saya yang Allah datangkan tragedi ke hidupnya, yang justru setelahnya Allah bawa dia ke dalam kebaikan. Dan saya sendiri juga adalah manusia yang sudah pernah merasakannya. Bahkan saat Allah mendatangkan tragedi, saya paham bahwa Allah sedang berbaik hati meggiring saya menuju ke kebaikan.

Untuk penutup, ingat ini: berusahalah untuk tersenyum dan beryukur (walau sulit) saat tragedi sedang mampir di hidup kamu. Berkatalah kepada diri sendiri; selamat, Allah sedang membawa saya kepada jalan kebaikan.

Menikah.

“Before you marry a person, think to yourselves will he/she be fit enough to be the father/mother to your child?”

*

Jujur, tidak mudah menjalin hubungan dengan manusia. Menurutku, ini adalah bentuk interaksi yang paling sulit. Bayangkan, saat kita harus dihadapkan dengan realita mendapati sifat asli dari pasangan kita, atau kebiasaan tidak biasa pasangan kita! Yes, karenanya tidak sedikit yang memilih menyerah dan memutuskan untuk berpisah. Jadi, kembali aku tekankan, saling menerima itu tidak mudah. Tapi apakah bisa? Tentu bisa! Banyak sekali contoh sukses untuk ini.

Tidak segan, dulu yang selalu aku tangguhkan, akhirnya berani aku jalankan: aku siap menghadapi sebuah pernikahan!

Aku, manusia yang tidak mau diatur, dengan berani memutuskan untuk mengikat diri kepada satu wanita yang aku pilih melalui proses taaruf. Taaruf saja merupakan hal yang baru bagiku, apalagi menikah! Hal luar biasa yang Allah limpahkan ke hidupku.

Apakah setelahnya semua terasa mudah? Tidak! Malah sangat tidak mudah. Bukan menakuti, tetapi justru agar kamu, yang hendak menikah, bisa banyak mempersiapkan apa yang perlu dipersiapkan.

Dari pernikahan yang baru berumur dua bulan lebih, ada beberapa hal yang bisa aku pelajari sejauh ini. Yes, it’s an open discussion. If you think that it’s arguable, please do tell me on the comment bellow. J

Komunikasi yang Baik Adalah Hal Utama Dalam Semua Hubungan

Sahabatku Anand dan Acie selalu menitip pesan begini: yang penting semuanya komunikasikan dengan baik ya, Ri.

Ternyata itu benar. Komunikasi memiliki peran yang begitu penting dalam keberlangsungan harmonis atau tidaknya sebuah rumah tangga. Bagaimana kita tahu kemauan pasangan kita, atau bagaimana pasangan kita tahu kalau kita maunya apa, kalau tidak dikomunikasikan? Betul. Semuanya coba dikomunikasikan walau terasa berat dan menyakitkan. Tetapi prinsipku begini: lebih baik kukatakan jujur, agar bisa segera menemukan solusi yang bisa diambil untuk segera menyelesaikan masalah.

Bagi aku yang lulusan Ilmu Komunikasi, ternyata berkomunikasi dengan pasangan bukan juga hal yang mudah, karena banyak ‘gangguan’ yang memengaruhi komunikasi itu sendiri. Seperti keadaan mood yang tidak menentu, kondisi badan yang tidak selalu prima, hingga keadaan perut yang lapar. Pelajari apa yang bisa memengaruhi komunikasi yang tidak baik itu. Bagiku, yang paling sulit adalah saat berada jauh dengan pasangan dan harus berkomunikasi menggunakan telepon selular. Banyak faktor yang memengaruhi texting melalui Whatsapp. Solusi sederhana yang selalu aku ambil adalah: apabila hendak membahas masalah yang berat, kita bahas nanti saat kita bertemu. Padahal inginnya segera aku selesaikan, but in my case, it doesn’t work that way. Tetap harus diselesaikan dengan bertemu.

The point is.. komunikasikan bagaimanapun caranya semua hal yang terkait dengan keberlangsungan rumah tangga itu sendiri. Pelajari dengan baik pola komunikasi seperti apa yang disukai kedua belah pihak. Yes, it takes time but the results are worth the effort.

Me Time

Aku suka dengan konsep me time ini, karena bisa membawa kedua belah pihak ke dalam ‘dunia lain’ selain hal-hal yang berbau rumah tangga. Konsep  me time aku adalah: masing-masing kita menghabiskan waktu sendiri atau bersama teman-teman kita tanpa adanya pasangan kita di sebelah kita untuk sementara. Ingat ya, untuk sementara. Me time yang suka aku lakukan adalah: bekerja (ya. Bekerja adalah salah satu bentuk me time bagiku), pergi dengan sepupu, membaca buku atau melakukan aktifitas dilaptop tanpa diganggu, atau pergi ke rumah orang tua sendirian dan tiduran di kamar. Kegiatan me time ini berhasil membuatku fresh seketika. Tidak perlu biaya mahal.

Namun, temanku Winda memberikan pandangan yang beda tentang me time. Me time yang dimaksudkannya adalah saat laki-laki ada masalah dan diam tidak berbicara (bahkan tidak mau mengajak istrinya berbicara untuk sementara), itu artinya ingin sendiri dulu tanpa perlu diganggu. Ada waktunya laki-laki seperti ini katanya. Dan akan kembali biasa lagi setelah siap.

Semuanya Tidak Bisa Sendiri Lagi, Tetapi Masih Bisa Menjadi Diri Sendiri

Yap, semuanya harus mulai dipikirkan. Tidak bisa mengambil keputusan sendiri lagi. Semuanya perlu didiskusikan apakah sebuah keputusan perlu diambil atau tidak. Plus: punya seseorang untuk berdiskusi agar keputusan yang diambil bukanlah keputusan yang salah. Minus: ruang kebebasan menjadi tidak ada. Semua terbatas.

Dengan kondisi seperti itu, justru mendewasakan kita, karena kita menjadi terlatih untuk bijaksana. Namun, kita juga masih bisa tetap menjadi diri sendiri.  Don’t lose yourself just because you found somebody. Terbatas bukan berarti harus merubah identitas.

Belajar Setiap Hari

Setiap hari adalah waktu yang baru karena akan mengenal karakter yang selalu baru dari pasangan kita. Dan aku rasa pelajaran ini akan berlangsung seumur hidup. Tidak mudah mendapati pasangan kita yang ternyata sifat dan kebiasaannya tidak sesuai dengan apa yang ada di bayangan kita selama ini. Tetapi manusia adalah makhluk yang pintar. Kita bisa berevolusi untuk menyesuaikan diri dengan pasangan kita. Kuncinya balik ke poin nomor satu: komunikasi.

*

Menikah adalah langkah besar dalam hidup manusia. Justru karena menikah langkah yang besar, akan ada tantangan yang besar. Dan karena menikah memiliki tantangan yang besar, akan ada ‘keuntungan besar’ berbentuk pahala yang akan didapat.

Pernikahan membawa banyak pelajaran bagi hidup manusia. Tingkatan hidup yang lebih tinggi akan didapatkan. Kualitas hidup akan meningkat. Karena mengikat diri kepada satu manusia, adalah seperti kita menandatangani kontrak untuk bisa patuh terhadap segala bentuk keuntungan dan cobaan dari ‘Universitas Pernikahan’.

Terlebih, manusia adalah makhluk sempurna nan unik. Manusia seperti sebuah buku yang memiliki cerita tersendiri didalamnya. Pernikahan mempertemukan dua buku yang berbeda. Isi yang berbeda. Yang jika digabungkan, akan menghasilkan buku baru yang berisikan cerita baru yang saling menyempurnakan.

Hijrah.

Aku masih ingat, saat itu aku tengah berada di satu masjid di daerah Bogor, tidak jauh dari hotel tempatku akan bekerja. Aku memasuki area masjid dengan sedikit terlonjak, karena kutemukan sebuah rak buku yang berada di pojokan, dan berisikan banyak sekali buku yang membuatku tertarik untuk mendekatinya.

Kubaca sambil kusentuh perlahan barisan buku itu. Judul-judulnya menarik, namun aku lupa apa saja. Kukatakan menarik karena buku-buku di dalam rak tersebut berhasil membuatku rela duduk pegal berlama-lama sambil berpikir buku mana yang akan aku ambil.

Negeri 5 Menara.

Buku ini berhasil menarik perhatianku untuk mengambilnya. Ditulis oleh seorang anak pondok yang berhasil mengembalikan rasa dimana aku seakan kembali ke dunia Hogwarts melalui tulisannya.

Aku jatuh cinta seketika kepada buku itu setelah melihat halaman yang berisikan syair yang ditulis oleh Imam Syafi’i. Syair ini semacam memiliki ilmu sihir yang kuat. Ia bisa membuatku ingin segera berlari menuju sebuah perbatasan Negara Utopia. Aku baca syair tersebut dengan sangat perlahan dan berulang kali. Aku dalami maknanya. Aku resapi. Aku rekam sebisa mungkin diotakku..

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampong halaman

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa

Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam

Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Bijih emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan

Hijrah.

Itu inti dari syair yang Imam Syafi’i tulis diatas.

Hijrah adalah sebuah proses metamorphosis untuk meraih kualitas hidup lebih tinggi. Setidaknya itu yang dikatakan tegas oleh Komarudin Hidayat dalam bukunya yang berjudul Psikologi Kematian. Ia analogikan hijrah seperti kepompong yang berproses hendak menjadi kupu-kupu yang kemudian bisa menikmati indahnya udara, taman bunga, beterbangan dengan sesama temannya.

Imam Syafi’I maupun Komarudin Hidayat, (belum lagi perkataan banyak orang hebat lainnya tentang konsep ‘hijrah’) adalah dua orang yang bisa dikatakan mengenalkanku dengan kata hijrah. Aku menjadi merasa tidak asing dan justru ingin terus berdekatan dengan kata hijrah. Ingin kulakukan segera, namun aku tidak paham bagaimana caranya? Haruskah aku menempuh perjalanan sangat jauh atau pergi ke Negeri Utopia?

*

Hidup merupakan proses hijrah. Setiap harinya kita berhijrah. Mungkin kita tidak pernah menyadari itu.

Hijrah dari tidak mau menjadi mau, dari tidak bisa menjadi bisa, dari buruk menjadi baik, dari tidak tahu menjadi tahu, dan seterusnya. Berbagai macam bentuk hijrah telah kita alami dalam hidup ini.

Aku dulu memikirkan bahwa dengan mendapatkan beasiswa ke luar negeri adalah satu-satunya bentuk hijrah yang sempurna dan harus aku lakukan. Terrnyata aku salah.

Bisa kau katakan hijrah kepada apapun dalam hidup yang sedang kau jalani, selama hijrah ini membawa banyak sekali kebaikan.

Sekitar Awal tahun 2008 aku memutuskan untuk berhenti dari pekerjaanku sebagai reporter dan berhijrah menjadi penyiar, karena aku tahu bahwa menjadi penyiar adalah pekerjaan yang jauh lebih ‘besar’ tanggung jawabnya dan tentunya itu akan membawa banyak kebaikan untuk kedibilitas diriku.

Sekitar Awal tahun 2016 aku memutuskan untuk berhijrah ke Jakarta, dengan pikiran bahwa aku akan memiliki karir yang lebih baik. Ternyata aku salah. Aku perlu kembali hijrah ke Bandung, karena aku tahu, walaupun di Bandung aku (mungkin) tidak memiliki karir yang baik seperti di Jakarta, namun setidaknya aku mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan banyak membawa kebaikan.

Sekitar Awal tahun 2017 aku memutuskan untuk berhijrah meninggalkan karirku di tempat yang telah menumbuhkembangkan aku selama sembilan tahun, menuju ke pencarian karir yang aku harapkan akan membawa banyak kebaikan untuk hidupku.

Sekitar pertengahan April 2017, aku berhijrah untuk meninggalkan peranku sebagai manusia yang asik berjalan sendiri, menjadi manusia yang tidak merasa terusik saat harus berjalan beriringan dengan manusia lainnya; menjadi suami.

**

Hijrah sendiri banyak memberikan pelajaran untuk mengenal kesalahan, yang akan menumbuhkan banyak kebijaksanaan dalam cara berpikir manusia. Hijrah memberikan banyak pemahaman dikala kita sedang melakukan sebuah perjalanan hijrah itu sendiri.

Maknai hijrah sesuai dengan keinginan kita. Jangan terpatok bahwa hijrah haruslah hal yang besar. Hal kecil namun bila memberi impact yang besar untuk kebaikan diri kita sendiri, itulah hal yang lebih patut dilakukan. Inti dari hijrah adalah diri kita. Bukan orang lain. Hijrah tidak butuh penilaian orang. Indikatornya bukanlah mereka. Tapi aku. Saya. Rasakan bahwa hijrah adalah tiket percepatan menuju kebaikan. Hijrah meluputkan diri dari keburukan. Cari itu. Lakukan itu.

Sadari hijrah setiap kita terbangun pada pagi hari, lalu yakini bahwa hari ini haruslah lebih baik dari diri kita di waktu kemarin.

Pembuka.

Sungguh tidak mudah bagi saya untuk kembali melakukan kegiatan yang paling saya sukai; menulis. Setelah mengalami proses hijrah semenjak tanggal 11 Desember 2016, saya memutuskan untuk kontemplasi; fokus beribadah kepada Allah Azza Wa Jalla. Saya mengambil banyak keputusan penting nan mendadak saat itu. Dimulai dari berhenti bekerja di tempat yang sudah membangun nama dan kredibilitas saya selama 9 tahun, memutus kontrak pekerjaan sebagai pewara yang sudah saya terima, dan yang dikatakan keluarga paling ekstrim adalah merubah penampilan; menggunakan celana cingkrang (celana diatas mata kaki) dan berjenggot.

Sejak hijrah, banyak yang bertanya; Kamu kenapa? Apa yang terjadi sehingga kamu bisa berubah sedrastis ini?

Sayangnya, jika kalian para pembaca blog saya ini berharap saya akan menjawab secara detail, saya tidak akan melakukannya. Tapi tunggu! Yang akan saya berikan insyaallah jauh lebih berguna bagi kalian yang membacanya.

Begini..

Perlu disadari, dan perlu juga dipahami, bahwa setiap manusia pasti melakukan kesalahan. Ini perlu disetujui, karena setelah sadar dan paham, manusia akan mudah memaafkan dirinya sendiri saat membuat kesalahan. Termasuk saya. Dalam hidup, saya sadar, saya perlu ditempa banyak kesalahan; entah itu salah mengambil langkah, atau salah berbuat. Membuat kesalahan ini yang memaksa saya untuk berhenti dan berpikir ulang; apa benar ini jalan yang saya pilih?

Gambarannya begini..

Kita semua pasti pernah bepergian, misal merencanakan untuk pergi ke rumah sahabat. Anggap saja ini adalah kali pertama pergi kesana. Untung, dewasa ini sudah ada gmaps atau waze yang bisa membantu kita mencari jalan. Namun buktinya tetap saja, kedua aplikasi itu bisa saja salah. Nah, saat aplikasi tersebut menunjukan jalan yang salah, pasti kita akah berhenti dan berbalik arah. Atau berbelok ke arah yang benar. Bukan begitu? Ini yang terjadi pada manusia saat membuat kesalahan. Mereka akan berhenti mendadak, lalu berbalik arah, atau akan belok ke jalan yang benar. Pun dengan saya.

Saya sadar, dalam perjalan hidup saya, saya sering membuat kesalahan-kesalahan kecil, yang pada akhirnya mengarahkan saya menuju ke kesalahan yang besar! Hingga satu waktu, tepat tanggal 11 Desember 2016 itu, saya memaksa (atau lebih tepatnya dipaksa) untuk berhenti. Saya mulai melihat, ternyata jalan hidup yang saya pilih adalah sebuah kesalahan besar! Saya terhempas jauh dari jalan yang benar. Saya perlu bergegas kembali. Inilah yang dikatakan banyak orang sebagai ‘menerima hidayah’.

Mulailah saya berkontemplasi. Memikirkan apa yang salah, yang perlu diperbaiki dan ditinggalkan. Untuk itu, saya tidak kesusahan melepas dan menanggalkan. Saya tinggal memilih mana jalan yang perlu diucapkan ‘selamat tinggal’, atau ‘ sampai jumpa lagi’.

Keputusan berhenti dari pekerjaan atau meninggalkan pekerjaan memang terkesan mendadak, namun sebenarnya rencana tersebut sudah ada dalam alam bawah sadar. Saya tahu sejak lama saya sudah harus berhenti dari pekerjaan itu, dengan dalih sudah saatnya saya mencari petualangan baru. Dan begitulah. Semua terjadi diwaktu yang tepat, atas suratan takdir Allah Sang Maha Pengatur segala.

*

Telah banyak hal terjadi dihidup saya belakangan ini, yang membuat saya berpikir ulang tentang tujuan hidup dan apa yang benar atau salah di hidup saya. Perlu rasanya saya bagikan cerita yang saya alami, dengan harapan ini akan menjadi amal jariyah untuk saya kelak. Blog baru ini insyaallah akan saya isi dengan ‘kesalahan-kesalahan’ atau pengalaman-pengalaman yang (semoga) bisa menjadi pelajaran bagi semua, khususnya bagi saya pribadi.

Dalam perjalanan menulis nanti, tidak mungkin saya tidak berhadapan dengan kesalahan kembali. Jadi, jangan mengharapkan ada kesempurnaan dari apa yang akan saya tuliskan. Bisa jadi apa yang saya tulis disini juga salah. Mari kita sama-sama belajar.

Saya beri nama blog ini Berjalan dari Dua Delapan. Dua Delapan merupakan umur saya sekarang, umur dimana perjalan baru dimulai. Mengapa Berjalan? Karena sesungguhnya kita lebih menikmati pemandangan dan lebih mudah mengamati realitas sosial sambil berjalan, bukan?

Blog ini adalah pengingat dikala saya tersesat, yang bisa menjadi penunjuk arah agar saya bisa tahu kapan harus berputar arah, berbelok, atau berhenti sesaat.

Silakan persiapkan kopi dan kudapan favorit, lalu nikmatilah setiap kata yang saya tulis disini.

Kang Hari

26 April 2017